19 Mei 2008

Jakarta Tempo Doeloe


Ditulis oleh crew
Senin, 19 Mei 2008


Penggalan SejarahPemerintahan Provinsi DKI Jakarta"Sejarah adalah guru dari penghidupan dan pembawa berita dari masa yang lampau"Cicero, Filsuf
Kota Jakarta pada awalnya hanyalah sebuah bandar kecil bernama Sunda Kalapa, terletak di muara Sungai Ciliwung pada sekitar 500 tahun silam. Pada Abad ke-14 wilayah ini masuk dalam bagian kekuasaan dari Kerajaan Pajajaran, yang berfungsi sebagai kota perdagangan, kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan Internasional yang cukup ramai dikunjungan para saudagar dari berbagai mancanegara. Bangsa Eropa pertama yang datang ke bandar Kalapa pada tahun 1522 berasal dari para pedagang Portugis dalam rangka mengembangkan perdagangannya di Asia Tenggara. Mereka lalu berusaha bekerja sama dengan Kerajaan Padjajaran yang dipimpin Sri Baduga Maharaja. Kala itu, Raja Padjajaran sedang menggalang kekuatan dan membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk bantuan kekuatan armada dari bangsa Portugis. Dukungan kekuatan itu, diperlukan untuk mengantisipasi adanya perluasan kekuasaan dari kerajaan-kerajaan yang sedang berkembang di Jawa bagian Timur melakukan ekspansi ke Jawa bagian Barat. Munculnya kekhawatiran Raja seperti itu, memang terbukti. Beberapa tahun kemudian Kerajaan Demak yang terkenal dengan kekuatan agama Islam-nya, melakukan perluasan kekuasaan dan menyebarkan pengaruhnya ke Jawa bagian Barat.Pemimpin perluasan itu, dipimpinan oleh Falatehan -atau lebih dikenal sebagai Fatahilah, seorang guru agama terkenal dan kharismatik dari Kerajaan Demak, yang memimpin penyerangan, kemudian merebut Banten dan Sunda Kalapa dari tangan Kerajaan Pajajaran --yang ketika itu beribukota di daerah pedalaman, dekat kota Bogor sekarang (Batu Tulis). Fatahillah kemudian mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta -yang berarti "Kemenangan Akhir"-- pada 22 Juni 1527. Tanggal inilah yang kini diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta. Kekuasaan Fatahillah, kemudian direbut oleh orang-orang Belanda yang tiba di Sunda Kalapa pada tahun 1596.Tahun 1602, Belanda mendirikan Benteng di Teluk Jakarta oleh Van Raay, seorang pegawai VOC, diberi nama "Batavia". Benteng ini menjadi pusat persekutuan dagang VOC untuk wilayah Hindia Timur. Sejak itulah Belanda memulai penjajahannya di seluruh kepulauan Nusantara. Dari Gemeente Sampai Jakaruta Tokubetsu ShiBerdasarkan Ordonansi (Undang-undang) tanggal 18 Maret 1905, Kota Batavia -- pada tanggal 1 April 1905-- ditetapkan sebagai sebuah daerah lokal, yang mempunyai kewenangan mengatur keuangan sendiri, berikut Dewan Daerah yang berdiri sendiri dengan nama: Gemeente Batavia. Ini adalah Gemeente pertama yang dibentuk di Hindia-Belanda. Luasnya ketika itu kurang lebih 125 km per segi, belum termasuk pulau-pulau yang ada di Teluk Batavia (kini Pulau Seribu).Pada tahun 1908, untuk keperluan menjalankan pemerintahan Pamongpraja, Afdeling Stad en Voorsteden van Batavia dibagi menjadi 2 Distrik, yakni Distrik Batavia dan Weltevreden, serta 6 Onderdistrik (Mangga Besar, Penjaringan, Tanjung Priok, Gambir, Senen, Tanah Abang), yang dikepalai oleh para Wedana dan Assisten-Wedana. Dari 6 Onderdistrik dibagi lagi menjadi 27 buah Wijk, dan masing-masing Wijk dibagi lagi dalam Kampung-kampung. Sebelumnya, tahun 1904 ada ketentuan baru bahwa untuk "Gemeente" tertentu oleh Gubernur-Jenderal dapat diangkat seorang Ketua Dewan "Gemeente" tersendiri. Ketua Dewan yang diangkat itu memakai sebutan Burgemeester (Walikota). Burgemeester Batavia pertama-yang diangkat oleh Gubernur-Jenderal pada tahun 1916 adalah Mr, G.J. Bisschop (nama Burgermeester Bisshopplein kemudian diabadikan untuk jalan yang sekarang menjadi JI Taman Suropati).Disamping jabatan Burgemeester, ada pula jabatan "Loco-burgemeester" (Wakil Walikota). Beberapa tokoh bangsa Indonesia yang pernah duduk sebagai anggota Gemeente Batavia, antara lain: Prof. Dr. Sardjito (almarhum), bekas Rektor Universitas Gajah Mada, Prof. Dr. Husein Djajadiningrat (almarhum), Sutan Mohammad (almarhum), Abdulmoeis (almarhum), dan yang paling terkenal adalah Mohammad Husni Thamrin (almarhum). Husni Thamrin -yang asli putra Betawi-- pernah pula menjabat Loco-burgemeester dari Batavia, merangkap anggota Volksraad Kantor Sekretariat Gemeente Batavia hingga tahun 1912 di Binnen Nieuwpoortstraat (Gedung Balaikota pada masa Pemerintahan V.O.C. Tahun 1913, dan Binnen Nieuwpoortstraat lalu pindah ke Tanah Abang Barat No. 35, dan sejak 1919 hingga kini pindah di Koningsplein Zuid 9, yaitu Balaikota sekarang di Jl Merdeka Selatan No. 8-9 Jakarta Pusat).Pada masa Pemerintahan Hindia-Belanda abad ke-19, Stad (kota) Batavia dengan daerah-daerah sekelilingnya merupakan suatu Karesidenan, yang dipimpin oleh seorang residen. Daerah administratip Karesidenan Batavia ini dibagi pula secara administratip dalam lingkungan-lingkungan yang lebih kecil, yang disebut "afdeling". Sampai permulaan abad ke-20, Karesidenan tersebut terdiri dari lima wilayah, yakni:1. Afdeling "Stad en Voorsteden van Batavia" (Kota dan pinggiran kota Batavia),2. Afdeling Meester Cornelis (sekarang Jatinegara),3. Afdeling Tanggerang,4. Afdeling Buitenzorg (sekarang Bogor)5. Afdeling Krawang.Afdeling "Stad en Voorsteden van Batavia" dikepalai seorang Asisten Residen. Afdeling ini dibagi lagi menjadi 4 distrik, yaitu: Distrik Penjaringan, Pasar Senen, Mangga Besar dan Tanah Abang. Termasuk pula dalam afdeling ini pulau-pulau di Teluk Batavia dan sebelah Utaranya (sekarang Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu).Pada tahun 1922 keluarlah Undang-undang tentang Pembaharuan Pemerintahan. Berdasarkan Undang-undang ini berturut-turut terbitlah Undang-undang (UU) Propinsi (1924), UU Regentschap (Kabupaten, 1924) dan UU Stadsgemeente (Stadsgemeente Ordonnantie, disingkat: S.G.O., 1926).Selanjutnya "Gemeente Batavia" ditetapkan menjadi "Stadsgemeente Batavia", yang kemudian menyelenggarakan Pemerintahan Daerahnya menurut ketentuan-ketentuan dalam S.G.O.S.G.O. menetapkan susunan Pemerintahan suatu Stadsgemeente terdiri dari:1. Raad (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah),2. College van Burgemeester en Wethouders (Dewan Pemerintah Daerah),3. Burgemeester (Walikota); Jakaruta Tokubetsu ShiTanggal 5 Maret 1942 kota Batavia jatuh ke tangan balatentara Jepang. Dan pada tanggal 9 Maret 1942 Pemerintah Hindia-Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Setelah itu, pihak Jepang lalu mengeluarkan Undang-undang No.42 tentang "Perobahan Tata Pemerintahan Daerah". Menurut UU tersebut, Pulau Jawa dibagi dalam satuan-satuan Daerah yang disebut "Syuu" (Karesidenan), "Syuu'" dibagi dalam beberapa "ken" (Kabupaten) dan "Shi" (Stadsgemeente).Kalau dalam Stadsgemeente hanya merupakan Badan yang mengurus rumah tangganya saja, tanpa melaksanakan urusan Pamongpraja, maka menurut UU Tata Pemerintahan Daerah pada masa pemerintahan Jepang, "'Shi" (Stadsgemeente) mengerjakan segala urusan pemerintahan (pamongpraja) dalam lingkungan daerahnya.Urusan Pemerintahan (Pamongpraja) di dalam Stadsgemeente' yang diurus oleh Regent (Bupati), Wedana, Assisten-Wedana, Kepala Kampung atau Wijkmeester, sekarang termasuk dalam kekuasaan "Shichoo" (Walikota). Mereka itu menjadi pegawai Shi dan menjalankan urusan Pemerintahan Shi dibawah perintah dan pimpinan "Shichoo".Selanjutnya menurut Undang-undang tersebut diatas, "Gunseikani' (Kepala Pemerintahan Balatentara Jepang) dapat membentuk "Tokubetsu Shi" (Stadsgemeente luar biasa). Bedanya antara "Tokubetsu Shi" dan "Shi" adalah, bahwa Tokubetsu Shi tidak merupakan Daerah Otonom dibawah Syuu, melainkan langsung dibawah Gunseikan. Dengan demikian, maka kedudukan Pemerintahan kota Jakarta telah meningkat lagi, "Jakaruta Tokubetsu Shi" dipimpin oleh "Tokubetsu Shichoo" dan beberapa orang "Zyoyaku" (Pegawai Tiggi), yang masing-masing diangkat pula oleh Gunseikan.Sampai berakhirnya pendudukan Jepang dalam tahun 1945, kota Jakarta adalah satu-satunya "Tokubetsu Shi" di Indonesia. Jakaruta Tokubetsu Shichoo yang pertama adalah Tsukamoto, dan yang terakhir adalah Hasegawa.Menjadi DCI/DKI JakartaKetika bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, yang ditandai dengan upacara pembacaan teks Proklamasi oleh Suwirjo di Pegangsaan Timur (sekarang Jalan Proklamasi) No. 56, istilah "Jakaruta Tokubetsu Shi' diganti dengan "Pemerintahan Nasional Kota Jakarta". Sebagai Walikota pertama yang diangkat oleh Presiden Soekarno pada 29 September 1945 adalah Suwirjo -yang menjadi Ketua Panitia dan pembaca teks Proklamasi tersebut.Tanggal 21 Nopember 1947, sewaktu Walikota Suwirjo bersama beberapa orang pejabat ditangkap dan kemudian diusir dari kota Jakarta oleh Pemerintah NICA (The Netherlands Indies Civil Affairs), maka untuk sementara kekuasaan Pemerintahan Nasional Kota Jakarta fakum. Baru pada tanggal 27 Desember 1949 Pemerintah Kerajaan Belanda mengakui Kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara yang berbentuk Federasi dengan sebutan: Republik Indonesia Serikat.Bagi Stadsgemeente Jakarta tidak ada banyak perubahah. Hanya saja-sesuai dengan ketetapan semula, Majelis Pemerintahan Kota Jakarta dan Badan Pemerintah Harian, pada tanggal 1 Maret 1950 meletakkan jabatannya. Untuk menghindari kekosongan Pemerintahan, pada tanggal 22 Februari 1950 Presiden R.I. memutuskan, bahwa semua kekuasaan dan kewajiban yang menurut Undang-undang seharusnya dilakukan oleh Dewan Perwakilan Kota dan 'College van Burgemeester en Wethouders" dari "Haminte-Kota Jakarta, untuk sementara waktu diselenggarakan oleh Walikota, yang waktu itu masih dijabat oleh Mr. Sastromuljono.Hal ini tidak berlangsung lama. Karena pada akhir bulan Pebruari 1950, dengan persetujuan Kementerian Dalam Negeri R.I.S. dibentuklah "Panitia Tujuh", yang terdiri dari tujuh orang tokoh. Yakni Suwirjo sebagai Ketua, dan sebagai anggota masing-masing: Supranoto, Mr. Sudjono, Mr. Jusuf Wibisono, Sjamsudin Saat, Mr. St. Takdir Ali Sjahbana dan B.A. Motik. Panitia ini bertugas untuk dalam waktu singkat membentuk Majelis baru yang didalamnya duduk wakil-wakil dari aliran-aliran politik dan lainnya yang mencerminkan keadaan yang sebenarnya dari masyarakat Kota Jakarta pada saat itu.Tugas Panitia Tujuh berakhir pada tanggal 9 Maret 1950 dengan membentuk:1. Pemerintahan Kotapraja Jakarta, yang terdiri dari:a. Dewan Perwakilan Kota Sementara.b. Badan Pemerintah Harian,c. Walikota;2. Dewan Perwakilan Rakyat Sementara, yang terdiri dari 25 orang anggota. Walikota menjadi anggota merangkap Ketua. Anggota-anggota diangkat oleh Menteri Dalam Negeri;3. B.P .H. terdiri dari Wali kota sebagai anggota merangkap Ketua, dan 4 orang anggota lainnya, yang dipilih dari anggota-anggota D.P.K. Sementara;Oleh karena diharapkan bahwa pemilihan umum akan dapat segera diadakan, maka D.P. K. Sementara dan B.P.H. tersebut, hanya diberi masa kerja 3 bulan saja, tetapi seiambat-lambatnya pada tanggal 1 Juli 1950 harus sudah meletakkan jabatannya.Keputusan Panitia Tujuh tersebut diatas disahkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri R.I.S. tanggal16 Maret 1950 No. B.J.3/4/13, terhitung mulai tanggal15 Maret 1950.Yang diangkat untuk pertama kali sebagai anggota B.P.H. adalah Supranoto, Sardjono, Tabrani dan De Quelju. Dan pada tanggal 23 Maret 1950 Suwirjo diangkat oleh Presiden R.I.S. sebagai Walikota Jakarta lagi. Mr. Sastromuljono mengadakan timbang-terima kepada Suwirjo pada tanggal 30 Maret 1950. Disusul dengan penyerahan kekuasaan Pemerintahan pada tanggal 31 Maret 1950 dari Gubernur Distrik Federal (Gubernur Batavia en Ommelanden) kepada Walikota Suwirjo, lingkungan wilayah Kotapraja ditambah dengan beberapa wilayah baru, yaitu:1. Pulau Seribu2. Onderdistrik Cengkareng, .3. Sebagian dari Distrik Kebayoran (Onderdistrik Kebonjeruk, Kebayoran ilir dan Kebayoran Udik), dan4. Sebagian dari Distrik Bekasi (Onderdistrik Pulogadung dan sebagian dari Onderdistrik Cilincing).Apabila kota lainnya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sebagian disebut "Kota Besar" dan lainnya "Kota Kecil", maka Kota Jakarta adalah satu-satunya yang dengan resmi disebut: "Kotapraja". Wilayahnya waktu itu terdiri dari: 6 Kawedanan, 20 Kecamatan dan 136 Kelurahan.Untuk menunjang pengelolaan manajemen pemerintah kota Jakarta yang semakin kompleks dan luas, tahun 1955, walikota Sudiro membagi kota Jakarta menjadi tiga wilayah kabupaten administratif. Yakni Jakarta Utara, Jakarta Tengah dan Jakarta Selatan. Masing-masing wilayah dipimpin Wedana Senior dengan pangkat Patih.Setara MenteriSetelah bertahun-tahun menjadi ibukota negara, baru tahun 1964 -melalui UU No 10/1964, status Jakarta menjadi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya (saat itu disebut Daerah Chusus Ibukota/DCI Djakarta Raja).Dengan alasan agar gerak Gubernur DKI Jakarta semakin dinamis, maka keluar lagi Penetapan Presiden tanggal 14 Juli 1965 No 15/1965 yang menyatakan -kedudukan Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta disetarakan dengan Menteri.Sementara itu tahun 1964, Gubernur DKI Jakarta Soemarno sempat melepaskan jabatannya dan digantikan oleh Gubernur Henk Ngantung. Namun, berdasarkan Keppres No.289/1965 yang dikeluarkan 14 Juli 1965, Soemarno diangkat kembali Menteri/Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta merangkap sebagai Menteri Dalam Negeri.Dalam rangka dekonsentrasi, melalui Lembar Daerah No.4 tahun 1966, wilayah DKI Jakarta dibagi menjadi lima wilayah Kota Administratif, Yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Wilayah kota adminsitratif tersebut dipimpin oleh seorang Walikota. Namun batas wewenang dan tanggungjawabnya hanya meliputi teknis administratif, taktis operasional dan koordinasi teritorial. Kini, lima wilayah di DKI tersebut telah meningkat menjadi Kotamadya yang masing-masing dipimpin seorang walikota.Foto :1. Foto lukisan pelabuhan Sunda Kelapa/Batavia (landscape pelabuhan dengan latar belakang Stad Batavia (kota Jakarta Tempo Doeloe)2. Foto museum Fatahila3. Foto Balaikota DKI Jakarta4. Foto DPR tahun 1950-an5. Foto Bung Karno dan walikota Sumarno di Gedung Pola6. Foto Pembangunan dan peresmian Bundaran HI7. Foto jalan raya di Jakarta jaman 1960an8. Foto lalulintas (trem, truk dll) di Jakarta9. Foto Jalan Thamrin tempo doeloe10. Foto kegiatan para mantan Gubernur DKI Jakarta dengan Presiden Soekarno11. Dll (foto-foto tempo doeloe yang berkaitan dengan kegiatan pemerintahan DKI Jakarta).Pointers :Sejarah Jakarta- Abad ke-14 bernama Sunda Kelapa sebagai pelabuhan Kerajaan Pajajaran. - 22 Juni 1527 oleh Fatahilah, diganti nama menjadi Jayakarta (tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari j adi kota Jakarta keputusan DPR kota sementara No. 6/D/K/1956). - 4 Maret 1621 oleh Belanda untuk pertama kali bentuk pemerintah kota bernama Stad Batavia. - 1 April 1905 berubah nama menjadi Gemeente Batavia.- 8 Januari 1935 berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia. - 8 Agustus 1942 oleh Jepang diubah namanya menjadi Jakaruta Toko Betsu Shi. - September 1945 pemerintah kota Jakarta diberi nama Pemerintah Nasional Kota Jakarta. - 20 Februari 1950 dalam masa Pemerintahan Pre Federal berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia. - 24 Maret 1950 diganti menjadi Kota Praja Jakarta. - 18 Januari 1958 kedudukan Jakarta sebagai Daerah swatantra dinamakan Kota Praja Jakartaa Raya. - Tahun 1961 dengan PP No. 2 tahun 1961 jo UU No. 2 PNPS 1961 dibentuk Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya. - 31 Agustus 1964 dengan UU No. 10 tahun 1964 dinyatakan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta.Tulisan II Jakarta Tempo Doloe :
"Queen of The East"
&
Weltevreden
Pada pertengahan Abad ke-18, ketika masih bernama Batavia, Jakarta sudah terkenal di dunia sebagai salah satu kota pantai yang menjadi pusat perdagangan di Timur Jauh. Tak mengherankan, ketika itu Jakarta dijuluki sebagai "Queen of The East".Pemerintahan Hindia Belanda sangat mengandalkan Jakarta --sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan-di Timur Jauh. Apalagi ketika tahun 1886 dibangun pelabuhan Tanjung Priok sebagai pelabuhan modern. Ini, membuat peran Jakarta semakin penting dan diperhitungkan, sekaligus menjadi pengimbang dalam perdagangan dunia yang kian dinamis, setelah pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869.Sebagai kota yang penting dan diperhitungkan di dunia, pembangunan dan pengembangan Batavia ketika itu tidak lagi hanya sebagai kota dagang dan persinggahan. Tetapi ditujukan menjadi daerah koloni yang nyaman, sesuai selera orang Eropa. Karena itu, pemerintahan Hindia Belanda memindahkan pusat pemerintahan dari Oud Batavia (kota lama) ke Weltevreden, dengan membangun kota baru. Berbagai gaya arsitektur bangunan Eropa yang telah diadaptasikan dengan iklim tropis, dimasukkan dalam penataan dan pelaksanaan kota.Sarana dan prasarana pun di bangun dalam skala sebuah kota besar. Tahun 1873, dibangun jaringan transportasi darat, seperti jalan raya, jalur kereta api dari Batavia (Jakarta) sampai Buitenzorg (kini Bogor). Dilanjutkan dengan pembangunan jaringan-jaringan rel kereta pai ke berbagai kota. Di dalam kota dibangun pula jaringan trem uap.Di pusat pemerintahan Weltevreden, dibangun istana Waterlooplein yang kemudian berfungsi sebagai kantor pemerintah, gedung pengadilan Hoogeerechtshof, gereja Katholik Kathedral, gereja Protestan Willemskerk, sekolah-sekolah, gedung kesenian Schowburg, asrama militer dan rumah sakit.Sejak itu minat orang-orang Eropa ke Batavia kian tinggi. Berdasarkan data Gemeente Register, pada tahun 1924 penduduk Eropa di Batavia berjumlah 27.960 orang. Jumlah ini meningkat menjadi 28.848 orang pada tahun 1925. Dan pada (sensus) 21 Oktober 1926, jumlah bangsa Eropa di Batavia naik menjadi 29.126 jiwa. Sedangkan penduduk Tionghoa mencapai 40 ribu jiwa, Arab 13 ribu jiwa, dan yang terbanyak adalah penduduk asli Indonesia (bumiputra), mencapai 228.000 jiwa.Ketika itu, luas Gemeente Batavia hanya 125 km persegi, tidak termasuk Kepulauan Seribu. Namun, sejak tahun 1917, sejalan dengan perkembangan kota, Gemeente Batavia diperluas. Tahun 1936, ketika Meester Cornelis (sekarang Jatinegara) digabungkan, luas Stadsgemeente Batavia bertambah menjadi 182 km persegi.Kawasan Menteng.Strategi planologi yang berkembang di Eropa sangat berpengaruh pada strategi pembangunan dan perencanaan Batavia. Pada awal Abad 20, di Eropa sedang populer penataan kota taman (Garden City) dan Ir Thomas Kaarsten adalah salah seorang planolog taman saat itu. Tak heran di Batavia pun muncul peraturan untuk membangun taman-taman kota. Sejak itu, bermunculanlah taman-taman kota. Dan Batavia semakin cantik dengan adanya Wilhelminapark (kini kompleks Masjid Istiqlal), Frombergspark (kini Taman Chairil Anwar), Decapark (taman di depan Istana Merdeka), serta Burgermeester Bisschopplein (kini Taman Surapati).Pengaruh tersebut (penataan kota taman) terlihat saat mengembangkan Menteng. Kawasan yang diambil dari van Muntinghe, pemilik awal lahan di Menteng itu, dibangun menjadi kawasan prestisius. Bahkan proyek ini dikuatkan oleh peraturan BBV 1919. Dibentuk pula badan Bowploeg, sebagai pengarah pembangunan. Pola penataan ruang kota disesuaikan dengan syarat kota modern. Jalan utama Nassau Boulevard (kini Jalan Imam Bonjol) dan Oranye Boulevard (kini Jalan Diponegoro) merupakan arteri, dengan titik pertemuan di Bisschoplein (Taman Surapati) dengan van Heuzt Boulevard.Untuk membangun vila-vila, sengaja diundang arsitek-arsitek Eropa. Di sinilah awal berkembangnya seni arsitektur Indotropis.Menteng yang dulunya terdiri dari Niew Gondangdia dan Menteng, merupakan salah satu contoh perancangan kota modern pertama di Indonesia. Menteng dibangun oleh developer swasta NV de Bouwploeg yang dipimpin arsitek PJS Moojen yang tampaknya juga merencanakan tata letak dasar keseluruhan kawasan tersebut.Sistem Zoning. Strategi peruntukkan lahan kota di Batavia dulu, mengadaptasi Sistem Zoning yang telah dikembangkan di kota-kota Eropa. Tetapi sebenarnya sejak tahun 1930 metoda peruntukkan lahan kota telah diperkenalkan. Misalnya di Utara, Oud Batavia (kota tua) dipertahankan sebagai kawasan perdagangan. Di tengah, yaitu Noordwijk (kini Jalan Juanda), Rijswijk (kini Jalan Veteran), sampai Pasar Baru dijadikan sebagai kawasan campuran antara pertokoan, perkantoran, arena hiburan dan hotel-hotel. Di Selatan, yakni Koningsplein (kini kawasan Monas) sebagai perkantoran dan pemukiman. Setelah abad ke-20 Koningsplein berkembang sebagai pusat pemerintahan.Pada tahun 1818, Daendels-lah yang pertama kali membuka lapangan seluas 1 x 0,85 km ini sebagai tempat latihan militer. Peningkatan peran kawasan ini (sekarang Monas), diawali ketika istana Waterloplein (kini Gedung Departemen Keuangan di Lapangan Banteng) ditetapkan sebagai kantor pemerintahan. Sehingga Gubernur Jendral berdiam di Di Rijswijk (kini Istana Merdeka). Tempat itu kemudian dibangun menjadi istana dengan dua wajah. Yakni menghadap Rijswijk (kini Istana Merdeka) dan menghadap ke Koningsplein (kini Istana Negara).Di sekeliling Koningsplein berdiri pula rumah-rumah mewah kediaman para pembesar pemerintahan Hindia Belanda, disusul bangunan penting, seperti Museum (kini Museum Gajah), kantor Gemeenteraad, Rechtshoogeschool atau Sekoilah Tinggi Hukum (kini Kantor Hankam), kantor Pelayaran Nederland & Rotterdamsche Indische Radio Omroep Maatschappij atau disingkat NIROM (kini RRI), kantor perusahaan minyak Koloniale Petroleum Verkoop Maatschappij (KPM), Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM).Gedung-gedung Bersejarah di Jakarta (berupa parade foto)Foto :1. Pasar Senen Tempo Doeloe dan sekarang2. Pasar Tanah Abang Tempo Doloe dan sekarang 3. Lapangan Monas Tempo Doeloe dan sekarang4. Istana Merdeka Tempoe Doeloe dan sekarang5. Markas KKO dan bangunan bersejarah lainnya yang berkaitan dengan tulisan .

2 komentar:

Putra Panjalu mengatakan...

ehmmmmmmm Boleh Juga

Putra Panjalu mengatakan...

Saat semua tertidur di gunung galunggung kita bersama sama berjuang dalam gemblengan ...... kini dimana markas kita???? Kita pernah jaya mengapa kini kita bagai kacang lupa kulit....adakah waktu untuk kembali ???? gw tunggu di cibubur 16 agt 2008 jarum 19.00 wib Tower in memoriem